18 Agustus 2011

"Sahur Dan Buka Bersama Rasulullah "


Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin As-Sidawy


Termasuk prinsip Islam yang wajib diyakini dan diamalkan oleh setiap pemeluknya adalah keharusan kembali kepada ajaran Rosulullah r yang berlandaskan Kitabullah dan Sunnah-sunnah Beliau r yang shohih dalam pengamalan agama ini, baik yang berkaitan dengan masalah Aqidah, Ibadah, Akhlak, Mu’amalah, Dakwah, ataupun yang lainnya dari segala aspek kehidupan.
Allah I menegaskan hal ini dalam banyak firman-Nya I . Antara lain : ­

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali selain-Nya. Sedikit sekali yang kalian ambil pelajaran.” (Al A’roof : 3)
Juga dalam firman-Nya I :

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” ( Al Hasyr : 7)

Dalam banyak hadits Rosulullah r juga menekankan hal ini di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory dan Imam Muslim dari Abu Hurairah t :

مَا نَهَيْتُكُم عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang telah aku larang untuk kalian, maka jauhilah dan apa yang telah aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian.”

Demikian pula dalam perkara agama yang masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama, kaum muslimin diperintahkan untuk kembali kepada prinsip diatas. Allah I menjelaskan :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’ : 56)

Prinsip ini adalah jaminan keselamatan dari berbagai bentuk kesesatan selama seorang muslim masih memeganginya, hal ini diberitakan oleh Rosulullah r dalam sabdanya :
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي
“Aku telah meninggalkan bagi kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat sepeningggalku selama-lamanya selama kalian tetap berpegang teguh dengan keduanya Kitabullah dan Sunnahku “
( Hadits Hasan. Lihat: “ Ilmu Ushul Bida’ ” hal. 3/3)

Juga dalam haditsnya dari Abu Najih Al ‘Irbadh bin Sariyah t :

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسَنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Karena sesungguhnya siapa diantara kalian yang masih hidup. Maka dia akan melihat peselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian memegang teguh Sunnahku dan Sunnah khulafaurrosyidin yang diberi petunjuk. Gigit! Sunnahku dengan gigi geraham kalian… “ (HR. Abu Daud dan Tirmidzy)



Bahkan seorang itu dinyatakan tidak beriman hingga dia memiliki prinsip ini dan tunduk patuh terhadap ketentuan hukumnya( Rosulullah r ). Allah berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’ : 65)

Dalam ayat lain Allah  mengancam setiap orang yang menentang prinsip ini setelah dia mendapatkan penjelasan :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ : 115 )
Maka tidak sepatutnya bagi setiap muslim memiliki pilihan lain setelah ada ketetapan dari Allah I dan Rosul-Nya r . Allah I berfirman :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al Ahzaab : 36)

Sikap yang tepat adalah tunduk dan patuh seraya mengucapkan ( سَمِعْنَا وَ أَطَعْنَا ) “ Kami mendengar dan ta’at”, inilah sikap kaum mukminin sebagaimana dalam firman Allah I :

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
”Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rosul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan."Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nuur : 51)

Bila ini telah difahami bersama, maka kewajiban berikutnya adalah menggali ilmu agama ini dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, hingga kaum muslim lebih banyak mengenal agamanya dengan pinsip di atas dan tidak larut dalam kejahilan yang berakibat tejadinya pengingkaran terhadap ajaran Islam.

Diantara ajaran Islam yang belum banyak difahami oleh kaum muslim adalah waktu sahur dan berbuka puasa, hingga tatkala ada sebagian kaum muslimin yang mengamalkan tuntunan Islam dalam pekara tersebut, muncul pengingkaran dahsyat yang seharusnya tidak terjadi -bila kaum muslim kembali kepada prinsip diatas- hanya dengan alasan : “ TIDAK SEPERTI KEUMUMAN MASYARAKAT ”.

Oleh sebab itulah, saya tuliskan risalah ini, semoga kaum muslimin memahami permasalahan ini dengan pikiran jernih dan hati yang lapang sehingga menganggapnya sebagai Masalah Ilmiyah yang harus dikembaikan kepada prinsip di atas dan tanpa disikapi dengan arogan.






I. WAKTU PUASA

Kapan dimulai puasa ? Dan kapan berakhir? Hal ini telah diterangkan secara global oleh Allah I dalam firman-Nya :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“ dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al Baqoroh : 187)

Dalam Shohih Al-Bukhory (1917) dan Muslim (1091/35) dari jalan Abu Hazim Salamah bin Dinar dari Sahl bin Sa’d t beliau menjelaskan : “ Tatkala ayat ini turun, bila ada seseorang yang hendak puasa, dia mengikat di kedua kakinya tali hitam dan tali putih, lalu dia terus saja makan dan minum hingga jelas nampak baginya pemandangan (dua tali tadi).
Maka Allah I turunkan setelah itu (مِنَ الْفَجْرِ ) merekapun tahu bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang.”
Juga disebutkan dalam Shohih Al-Bukhory (1916) dan Muslim (1090) dari jalan ‘Amir bin Syurohbil As-Sya’by dari Ady bin Hatim t, beliau menguraikan : “ Tatkala turun ayat ini, saya mengambil ikatan hitam dan ikatan putih lalu saya letakkan di bawah bantalku, saya lihat di malam hari namun tidak nampak bagiku, saya pun pergi di pagi hari menuju Rosulullah r , lalu saya ceritakan hal tersebut kepada Beliau r , maka Beliau r bersabda

"إِنَّمَا ذَالِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَ بَيَاضُ النَّهَارِ "
“ yang dimaksud adalah kegelapan malam dan putihnya( terangnya ) siang”

Al-Imam Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqolany رحمه الله , salah seorang Imam besar dari Madzhab Syafi’iy, wafat tahun 852 H. Dalam Kitabnya Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhory 4/633 cet. Daarul Fikr, Bairut-Libanon tahun 1416H/1996 M. Menjelaskan : “ Makna ayat ini adalah : Hingga nampak jelas putihnya siang dari hitamnya malam, kejelasan ini dicapai dengan terbitnya fajar shodiq.”
Silahkan periksa keterangan senada dari Al-Imam Asy-Syaukany Muhammad bin Ali bin Muhammad. Wafat tahun 1250 H. Seorang Imam besar dari Yaman, dalam tafsir beliau Fathul Qodir (1/339 cet. Daarul Wafa’-AL-manshurih-Mesir th 1418 H/1997 M).

II. FAJAR KADZIB DAN FAJAR SHODIQ

Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita secara gamblang batas akhir waktu shahur dan dimulainya waktu puasa. Yaitu dengan terbitnya fajar shodiq sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Imam Asy-Syaukany.
Dengan terbitnya fajar shodiq, masuknya waktu sholat shubuh, dimulainya waktu puasa dan berakhirnya waktu sahur.
Lalu bagaimana dan apa fajar kadzib dan fajar shodiq itu? Masalah ini telah dibahas oleh kakanda tercinta Al-Akh Agus Su’aidi dalam tulisannya “PEDOMAN WAKTU SHOLAT ABADI SESUAI PETUNJUK NABI r ”. Silakan merujuk ke sana.
Sementara itu, penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas ditopang oleh banyak hadits dari Rosulullah r . Diantaranya :

Dari ‘Aisyah رضي الله عنها dia berkata : Bahwasanya Bilal biasa adzan pada waktu malam, maka Rosulullah r bersabda :

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَى يُؤَذِّنُ إِبْنُ أُمِّ مَكْتُمٍ فَإِنَّهُ لاَيُؤْذَنُ حَتَى يَطْلَعَ الفَجْرُ
“ Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum adzan, sebab dia tidak adzan hingga terbit fajar.” ( HR. Al-Bukhory [1918-1919] dan Muslim [1092/387] )

Hadits ini juga datang dari shohabat Ibnu Umar رضي الله عنهما pada refrensi yang sama.

Yang dimaksud dengan tebit fajar di sini adalah fajar shodiq bukan fajar kadzib, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ibnu Mas’ud t . Lihat Shohih Muslim no: 1093.
Al Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawy رحمه الله , wafat tahun 677 H, seorang alim besar Madzhab Syafi’iy, dalam kitabnya Syarh Shohih Muslim (7/176 cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyah-Libanon tahun 1415 H/1995 M). Menjelaskan : “Hadits ini menunjukkan kebolehan makan, minum, jima’(hubungan suami-istri) dan segala sesuatu, hingga terbit fajar.”
Dari Samuroh bin Jundub t : Bahwa Rosulullah r bersabda :

لاَ يَغُرَّنَّ أَحَدَكُمْ نِدَاءُ بِلَالٍ مِنَ السَّحُورِ وَلاَ هَذَا الْبَيَاضُ حَتَّى يَسْتَطِيرَ

“Janganlah menipu kalian untuk sahur adzan Bilal ataupun cahaya putih ini (fajar kadzib) hingga dia menyebar (fajar shodiq) “ (HR. Muslim no. 1094).

Bila keterangan di atas dapat difahami bersama, maka berikut ini saya bawakan beberapa permasalahan seputar sahur :

III. KEUTAMAAN MAKAN SAHUR

Makan Sahur memiliki banyak keutamaan diantaranya :

1. Makan Sahur adalah barokah.
Dalam Shohih Al-Bukhory (1923) dan Muslim (1095) dari jalan Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik t , Rosulullah r bersabda :

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“ Makan sahurlah kalian, karena Makan Sahur di dalamnya ada barokah”

Para ‘Ulama memperbincangkan makna barokah pada Makan Sahur.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan : “Pendapat yang tepat adalah bahwa barokah pada Makan Sahur dapat dicapai dari banyak sisi yaitu Mengikuti Sunnah, Menyelisihi Ahli Kitab, Memperkuat Diri dengan sahur untuk ibadah, Menambah Semangat, Mencegah Akhlak Jelek yang ditimbulkan oleh kelaparan, Menyebabkan adanya Amalan Shodaqoh kepada orang yang meminta pada waktu itu atau makan bersamanya, Menyebabkan adanya Amalan Dzikir dan Do’a di waktu maqbulnya do’a, Mengoreksi Niat Puasa bagi yang lupa sebelum tidur.” (Fathul Bari, 4/693)

2. Menyelisihi Ahli Kitab
Dalam Shohih Muslim (1096) dari hadits ‘Amr bin Al-‘Ash t bahwa Rosulullah r bersabda :
فَصَلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ الكِتَابِ أَكْلَةُ السَحْرِ
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah Makan Sahur“




IV. HUKUM MAKAN SAHUR

Telah lewat hadits Anas t di atas yang menunjukkan perintah Makan Sahur, sementara hukum asal perintah adalah wajib namun telah dinukil kesepakatan para ‘Ulama tentang Sunnahnya Makan Sahur. Dinukil oleh Ibnu Mundzir sebagaimana dalam Fathul Bari (4/639) dan Al-Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim (7/179).
Yang merubah hukum wajib menjadi Sunnah adalah riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi r penah berpuasa Wishol, lihat Shohih Bukhory (1922).
Makan Sahur dikatakan sah dengan memakan sesuatu apapun walau hanya meminum seteguk air.

V. WAKTU SAHUR

Ayat Surah Al-Baqoroh yang telah lewat di atas menunjukkan bahwa sahur bisa dilakukan kapan saja pada waktu malam, yang penting tidak melebihi fajar shodiq, namun telah datang banyak riwayat yang menganjurkan makan sahur hingga mendekati fajar shodiq diantaranya adalah:

Dari Sahl bin Sa’ad t dia berkata : “saya makan sahur dengan keluargaku, lalu saya bersegera untuk mendapat sujud (sholat fajar) bersama Rasulullah r “. (HR Bukhory no. 1920)
“Yang dimaksud oleh Sahl bin Sa’ad adalah karena sahurnya sangat dekat dangan tebitnya fajar(shodiq), maka dia bersegera dalam sahur dan hampir tidak mendapatkan sholat subuh bersama Rasulullah r karena Beliau r memulai sholat subuh pada waktu gholas (diawal waktu).”
Demikian diterangkan Al Qodhi ‘Iyad Al Maliky sebagaimana yang dinukil oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/67
Dari Zaid bin Tsabit t beliau berkata : “kami pernah sahur bersama Nabi r kemudian Beliau bangkit untuk sholat” saya (Anas bin Malik ) bertanya : berapa jarak antara adzan dan waktu sahur? Dia jawab : “seukuran lima puluh ayat” (HR Bukhory no. 1921)

Hadits-hadits di atas dijadikan dalil oleh para ‘Ulama untuk menunjukkan Sunnahnya mengakhirkan sahur hingga mendekati terbit fajar.
Berikut ini akan kami bawakan perkataan ‘Ulama dahulu maupun sekarang tentang hal ini sebagai gambaran jelas bagi kaum muslimin bahwa masalah ini telah diterangkan dan dipraktekkan oleh mereka :

Ø Al Imam As-Syafi’iy رحمه الله
“saya menganjurkan sahur diakhirkan selama tidak mendekati waktu yang ditakutkan telah terbit fajar, sebab (bila terbit fajar) saya menyukai sahur di stop pada saat itu…” (Al-Umm, 2/106 cet.1 Daarul Fikr tahun 1422 H/2002 M)

Ø Al Imam Ahmad bin Hambal رحمه الله ta’ala
“menakjubkan diriku mengakhirkan sahur karena hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit …” , lalu beliau membawakan hadits Zaid di atas.
(lihat Asy-Syarhul Kabir 4/220 cet. 1 Daarul Hadits Cairo tahun 1416 H/1996 M dan Al Mughni karya Ibnu Qudamah 4/251 cet. sama )

Ø Al Imam Ibnu Hazm Al Andalusy رحمه الله wafat Th 456 H
“Termasuk Sunnah menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur…” (lihat : Al Muhalla 6/240. cet. Daarul Afaq – Al Jadidah, Beirut tanpa tahun)

Ø Al Imam Nawawy رحمه الله
“di dalam hadits ini (hadits Zaid) ada anjuran mengakhirkan waktu sahur sampai waktu fajar. ” (Syarah Shohih Muslim, 7/180)
Bahkan beliau menukilkan kesepakatan Madzhab Syafi’iy dan para ‘Ulama lain tentang hal ini : “madzhab kami dan yang lainnya dari kalangan para ‘Ulama telah sepakat bahwa sahur adalah Sunnah dan mengakhirkannya adalah lebih utama. ” (lihat : Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 6/621 cet : 1 Daarul ihya’ ut turots al ‘araby Beirut th 1422 H/2001 M)

Ø Al Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy رحمه الله wafat th 630 H.
“Yang terpilih adalah mengakhirkan sahur dan menyegerakan buka puasa” (Al-Mughni, 4/251)

Ø Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله wafat th 682 H
“dianjurkan menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur” (As-Syarhul Kabir, 4/219)

Ø Imam Ibnu Katsir رحمه الله wafat 774 H
“Dianjurkan mengakhirkan sahur hingga waktu terbitnya fajar”(lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/228 cet.10, Daarul Ma’rifah-Bairut tahun 1418 H/1997 M)

Ø Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله wafat tahun 852 H.
“Hadits ini(hadits Zaid) ada penjelasan tentang mengakhirkan sahur, sebab hal ini tersebut lebih mencapai maksud (puasa)” (Fathul Bari, 4/638)

Ø Al Imam Syaukani رحمه الله wafat th 1255 H
“Di sini ada dalil yang menunjukkan di syari’atkan mengakhirkan sahur dan telah lewat penjelasan Ibnu Abdil Barr, bahwa hadits yang mengakhirkan sahur adalah shohih lagi mutawatir. ” (lihat Nailul Author 4/303 cet. 4 Daarul Fikr, tanpa tahun).
Dan beliau berpendapat bahwa hal ini adalah Sunnah, sebagaimana dalam kitab beliau (Ad-Darory Al-Mudliyah 1/379 Cet. 4, Maktabah Al-Irsyad-Shon’a-Yaman tahun 1421 H/2001M).

Ø Al Imam Al ‘Allamah Muhammad bin Sholih Al Utsaimin رحمه الله wafat 1421 H/2001 M
“Yang Sunnah adalah mengakhirkan sahur selama tidak khawatir terbit fajar, karena hal ini adalah perbuatan Nabi r”
(Lihat Majalis Syahri Romadlon hal 124 cet.1, Maktabah Al-Irsyad-Shon’a-Yaman tahun 1421 H/1996 M”).
Periksa juga penjelasan beliau lebih panjang dalam karya besar beliau (As-Syarhul Mumti’ 3/80-81 cet. Daarul Atsar, Mesir, tanpa tahun)

Ø Al Imam Al Alamah Muqbil bin Hadi رحمه الله wafat 1421 H/2001 M
“Sahur lebih afdhol di akhirkan sampai menjelang fajar kira-kira 60 ayat ...” (Ijabatus Sail hal 165 cet. 1 Daarul Hadits-Dammaj tahun 1416 H/1995 M)

Ø Al Imam Syaikh Abdullah Aalu Bassam رحمه الله (murid Imam As Sa’dy, sezaman dengan Syaikh Al Utsaimin)
“Hadits-hadits yang memerintahkan dan menganjurkan sahur, mengakhirkan waktunya, menyegerakan berbuka adalah mutawatir, sebagaimana yang dihikayatkan oleh At-Thohawy dan yang lainnya” (Taudlihul Ahkam 3/156 cet. Daarul Qiblah tanpa tahun).
Dalam karya beliau yang lain Taisirul Allam ( 2/38 cet. 7 Daarul Fikr tahun 1407 H/1987 M). Tatkala menyebutkan hadits Zaid bin Tsabit di atas beliau menyebutkan faedahnya di antaranya : “Keutamaan mengakhirkan sahur hingga menjelang fajar”.

Ø Al Imam ibnu Daqiq Al-Ied رحمه الله wafat 702 H
“Dalam hadits ini (hadits Zaid) ada dalil yang menunjukkan anjuran mengakhirkan sahur dan mendekatkannya pada fajar”. (Ihkamul Ahkam 2/163 cet. 1 Daarul Kutub Al-Ilmiyah-Bairut tahun 1420 M/2000 M).

Ø Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al Hilaly wafaqohumullah (murid ahli hadits zaman ini Al Imam Nasiruddin Al Albany رحمه الله)
“Dianjurkan mengakhirkan sahur hingga menjelang fajar ...” (Sifat Shoum An-Nabi hal : 46 cet. 5 Maktabah Islamiyah, tahun 1412 H).

Demikian sedikit nukilan dari para ‘Ulama dahulu maupun sekarang, cukuplah bagi kaum muslimin mengambil hadits Zaid bin Tsabit sebagai pedoman dalam masalah dengan nukilan Ijma’ dari imam terkenal madzab Syafi’iy, yaitu Imam An-Nawawy رحمه الله .

VI. BATAS AKHIR SAHUR

Untuk lebih menjelaskan tentang masalah ini, akan saya nukilkan -bi Idznillah- khilaf para ‘Ulama tentang akhir batas sahur, sebagai gambaran bagi kaum muslimin bahwa mereka mengakhirkan sahur tanpa mengenal istilah IMSAK yang ada di zaman sekarang.

Perbedaan pendapat para ‘Ulama dalam masalah batas akhir sahur, adalah sebagai berikut :

1. Jumhur ‘Ulama berpendapat, bahwa batas akhir sahur adalah terbitnya fajar shodiq. Dalil mereka adalah ayat dan hadits yang telah disebutkan di atas.

2. Sebagian Salaf membolehkan sahur hingga cahaya putih telah tersebar di atap-atap rumah dan gang-gang desa.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakr, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit y .
Juga diriwayatkan dari sebagian tabi’in rohimahumullah jami’an, diantaranya : Muhammad bin Ali bin Al-Husain, Abu Mijlaz, Ibrohim An-Nakho’iy, Abu Dluha, Abu Wa’il, dan yang lainnya dari murid-murid Ibnu Mas’ud, Atho’, Al-Hasan Al-Basry, Al-Hakam bin ‘Uyainah, Mujahid, ‘Urwah bin Zubair, Abu Sya’tsa Jabir bin Zaid dan ini adalah pendapat Al-A’masy dan Jabir bin Rosyid.

3. Al-Imam Ibnul ‘Aroby Abu Bakr Al-Maliky رحمه الله , berpendapat, tentang keharusan menahan diri dari larangan-larangan puasa bila telah mendekati fajar shodiq. Sebagaimana dalam tafsirnya Ahkamul Qur’an, 1/105 cet. 1 Daarul ihyaut turots al-aroby-Bairut tahun 1421 H/2001 M
Pendapat beliau ini disitir oleh ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, 1/211 cet. Daarul Ihyaul Kutub Al-Arobiyah tanpa tahun. Dengan shighot tamridl ( قيل ) untuk menunjukkan kelemahannya dan beliau memberikan alasan bahwa pendapat ini hanya berdasarkan kehati-hatian.

4. Ibnu Jarir At-Thobary رحمه الله , menukilkan dari sebagian orang yang berpendapat bahwa akhir waktu sahur adalah terbitnya matahari.
Pendapat ini disanggah oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/228-229 karena menyelisihi ayat di atas.

Pendapat yang shohih tanpa syak lagi adalah pendapat Jumhur ‘Ulama dahulu maupun sekarang karena kuatnya argumentasi mereka yang berdasarkan ayat dan hadits-hadits diatas.
Adapun yang diriwayatkan sebagian sahabat dan tabi’in di atas. Maka yang dimaksud adalah mereka bersahur hingga merasa yakin fajar telah terbit, demikianlah dijelaskan oleh Imam An-Nasa’i, Ibnu Katsir, dan para ‘Ulama lainnya, sehingga pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat pertama. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/228.
Adapun pendapat yang selain ini. Maka tidak perlu ditoleh karena tidak berdasar pada dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

VII. BILA MERAGUKAN TERBITNYA FAJAR

Untuk lebih menjelaskan lagi, bahwa sahur lebih afdlol diakhirkan dan batas waktu akhir adalah terbit fajar, adanya sebagian ‘Ulama yang membolehkan makan dan minum bila dia masih meragukan terbitnya fajar shodiq.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Atho’, Al-Auza’y, Imam As-Syafi’iy , dan Imam Ahmad bin Hambal rohimahumullah . Mereka berpegangan dengan ayat :

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (Al Baqoroh : 187 )


VIII. BID’AHNYA IMSAK MASA KINI

Bila penjelasan di atas telah dipahami, maka dengan mudah dan ilmiyah kita dapat menghukumi bid’ahnya IMSAK di zaman sekarang ini, dimana ada sebagian faham sempalan yang menentukan waktu IMSAK jauh sebelum fajar shodiq muncul.
Untuk lebih membuktikan lebih akurat lagi tentang hal ini, maka saya jelaskan hal-hal penting yang merupakan prinsip Islam sebagai berikut ;

1. Berpuasa adalah ibadah, bahkan termasuk rukun Islam. Untuk itulah Allah mewajibkannya dan memberi pahala orang yang melaksanakannya serta mengancam orang-orang yang meninggalkannya.
Hal ini adalah perkara yang telah di maklumi oleh segenap kaum Muslimin. Allah I berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, ” (Al Baqoroh : 183)

2. Sementara ibadah itu tidak akan diterima oleh Allah I melainkan bila terpenuhi dua syarat :

a. Ikhlas

Yaitu mempersembahkan Ibadah tadi hanya untuk Allah I semata dan tidak boleh untuk yang selain-Nya. Allah I berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Al Bayyinah : 5)

Bila syarat ini hilang, maka orang itu terjatuh pada perbuatan syirik yang menghapus amalannya, firman Allah :

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Az Zumar : 65)

b. Mengikuti dan sesuai dengan Sunnah Rosulullah r baik dalam hal kaifiyah (tata cara), waktu, tempat, dan yang lainnya. Allah I berfirman :

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah “ (Al Hasyr : 7)

Bila syarat ini hilang, maka diapun terjatuh pada Perbuatan Bid’ah. Sabda Rosul r :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدًّ [رواه مسلم عن عائشة
“ Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang bukan dari kami maka dia tertolak”

Dari sinilah, para ‘Ulama menetapkan suatu kaidah yaitu “hukum asal ibadah adalah haram hingga ada dalil (Al-Kitab dan Sunnah) yang mensyari’atkannya”

Dengan demikian jelaslah, bahwa Imsak adalah bid’ah mungkaroh yang harus dilenyapkan oleh kaum muslimin dari bumi pertiwi ini, sebab imsak tidak dilandasi oleh dalil dan banyak menimbulkan kesalahan-kesalahn fatal dalam agama seseorang.

Berikut ini saya bawakan penjelasan para ‘Ulama tentang masalah ini agar kaum muslimin merasa mantap dan yakin akan kebid’ahan Imsak.

Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany رحمه الله.

“Faidah : Ketahuilah! Bahwa tidak ada pertentangan antara pensifatan Beliau r terhadap fajar shodiq dengan “Warna Merah” dan pensifatan Allah I terhadapnya dengan firman-Nya I “Tali Putih” sebab yang dimaksud adalah –wallahu a’lam- : Cahaya putih bercampur merah atau terkadang bercahaya putih dan terkadang bercahaya merah, sesuai dengan perbedaan Mathla’.

Hal ini saya lihat sendiri bekali-kali dari rumah saya di Jabal Hamlan sebelah timur Omman. Sehingga hal ini mempekuat keyakinan saya akan kebenaran berita yang disampaikan oleh sebagian orang yang sangat berkeinginan membetulkan ibadah kaum muslimin bahwa adzan fajar disebagian negara-negara arab diawalkan sebelum fajar shodiq antara 20 –30 Menit yaitu sebelum fajar kadzib juga!?

Saya seringkali mendengar Iqomat sholat fajar dari sebagian mesjid bersamaan dengan terbitnya fajar shodiq, mereka adzan setengah jam sebelumnya. Akibatnya, mereka sholat sunnah fajar sebelum waktunya, mereka terkadang pada bulan Romadhon menyegerakan pelaksanaan sholat fardu sebelum waktunya, sebagaimana yang saya dengar di radio DAMASKUS saat saya sedang makan sahur Romodhon tahun lalu ( 1406 H).

Ini semua berakibat mempersempit waktu orang dengan segera Imsak dari makan dan mengakibatkan batalnya sholat subuh. Hal-hal diatas disebabkan mereka berpatokan dengan jadwal waktu falak dan berpaling dari jadwal waktu syar’i.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al Baqoroh : 187)

Ini adalah peringatan, dan peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin..” ( Silsilah As-Shohihah No: 2031, lihat Nudhumulfaroid karya Abdul latif 1/512-513 cet. 1 Maktabatul Ma’arif-Riyadl-tahun 1420 H/1999 M)

Al-Imam Abdullah Aalu Bassam رحمه الله

“ Sesugguhnya waktu imsak adalah terbitnya fajar, sebagimana firman Allah I :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Dengan demikian kita mengetahui, bahwa dua waktu yang dibuat oleh orang , satu waktu Imsak dan yang lain untuk terbit fajar adalah Bid’ah yang tidak diturunkan dalilnya oleh Allah I . Itu hanyalah was-was syaithon untuk mengkaburkan agama mereka, padahal menurut Sunnah Muhammad r Imsak itu pada awal fajar .“
(Taisur Allam, 2/58)

Al-‘Allamah As-Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan Hafidzohullah, salah seorang ‘Ulama besar Saudy Arabiyah.

“Sebagaian orang terlalu dini dalam makan sahur, sebab mereka bergadang malam lalu makan sahur dan tidur beberapa jam sebelum fajar. Orang-orang seperti ini telah melakukan beberapa kesalahan :
1. Mereka telah mulai puasa sebelum waktu puasa.
2. Mereka meninggalkan sholat fajar secara berjama’ah, merekapun bermaksiat kepada Allah I dengan meninggalkan kewajiban sholat berjama’ah.
3. Terkadang mereka mengakhirkan sholat fajar dari waktunya, mereka tak mengerjakannya melainkan setelah terbitnya matahari, ini lebih besar lagi dosanya. Allah I berfirman :

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, ” (Al Maa’uun : 4-5)

( lihat : Al-Mulakhosul Fiqh hal. 229-230 cet. Daarul Haitsam-Cairo, tanpa tahun )

Syaikh Saya, Abdurrahman Mar’ie Al-‘adny Al-Yamany.

Beliau tegas menyatakan, bahwa IMSAK adalah Haram dan Bid’ah, sebagaimana dalam Tanya jawab saya dengan beliau Via Telphon pada hari Rabu tanggal 28 Desember 2004 M.

Sebagai penutup pembahasan masalah seputar sahur, berikut ini saya bawakan faedah mengakhirkan sahur agar kaum muslimin melihat betapa mudah dan ringan agama Islam ini dan betapa bid’ah Imsak telah memberatkan kaum muslimin.
Faedah-faedah mengakhirkan sahur ini saya rangkumkan dari penjelasan para ‘Ulama dahulu maupun sekarang .

IX. FAEDAH-FAEDAH MENGAKHIRKAN SAHUR

Diantaranya adalah :

1. Mencontoh Rosulullah r dan mencocoki Sunnahnya.

Ini adalah faedah terbesar dan terpenting. Kalaulah tidak ada faedah pada mengakhirkan sahur melainkan ini, niscaya sangat cukup sebagai bukti keutamaannya.
Sebab, mencocoki Sunnah Rosulullah r dalam satu amalan ibadah adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan dan hal inilah yang didambakan oleh setiap muslim yang masih bersih fithronya. Apalagi kalau amalan ini dikerjakan ditengah-tangah sebuah masyarakat yang terkukung dalam cengkraman bid’ah Imsak. Maka pahalanya lebih berlipat lagi. Rosulullah r pernah bersabda :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلي يَوْمِ القِيَامَةِ لاَ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءاً
“Barang siapa yang menghidupkan kembali dalam islam ini Sunnah yang baik, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya hingga hari kiamat, tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun.”

Mudah-mudahan Allah I menjadikan kami termasuk orang yang mendapatkan keutamaan dalam hadits ini. Amin.

2. Meringankan kaum muslim dalam bersahur .

Sebab, bila bersahur di tangah malam dan imsak jauh sebelum fajar, niscaya hal ini akan memberatkan dia atau dia perlu memaksakan diri untuk bangun tengah malam hanya untuk bersahur.

3. Lebih menguatkan orang yang berpuasa sebab dia sangat membutuhkan makanan.

Bila dia bersahur tengah malam, niscaya akan cepat melemahkan dia, apalagi kalau dia punya penyakit tertentu, bisa jadi menyebabkan dia buka puasa di siang hari.

4. Memudahkan dia sholat fajar secara berjama’ah tepat pada waktu yang disyar’ikan, dimana hal ini lebih wajib dari pada sahur itu sendiri.

Adapun bila dia sahur jauh sebelum fajar, maka dikhawatirkan dia akan tertidur dari sholat fajar secara berjama’ah, lebih parah lagi dia sholat fajar setelah matahari menyingsing. Wallahu a’lam.

X. WAKTU BERBUKA PUASA

Setelah selesai pembahasan masalah seputar sahur yang merupakan awal waktu dimulainya ibadah puasa yaitu bila fajar shodiq telah terbit, berikut ini saya bawakan masalah-masalah seputar buka puasa yang merupakan akhir waktu ibadah puasa dan saya bawakan pembahasan masalah waktu berbuka agar sejalan dengan pembahasan sebelumnya.
Masalah waktu buka puasa ini telah Allah I jelaskan secara gelobal dalm firman-Nya I :

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al Baqoroh : 183)

Maka puasa itu dimulai dari terbitnya fajar shodiq hingga masuk waktu malam sebagaimana konteks lafadz ayat ini, lalu kapan masuknya waktu malam yang itu adalah waktu berbuka puasa dan dikumandangkannya adzan maghrib ?
Berikut ini saya bawakan hadits-hadits Rosulullah r yang menjelaskan ayat di atas :

Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1954 ( lafadz hadits ini adalah lafadz Imam Al-Bukhory) dan Muslim no. 1100/51 dari jalan Hisyam bin ‘Urwah t dari Bapaknya dari Ashim bin Umar bin Al-Khoththob t dari bapaknya berkata : Rosulullah r bersabda :
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Bila Malam telah datang dari arah sini (timur) dan Siang telah pergi dari arah sini (barat) dan telah tenggelam matahari, maka sungguh orang puasa telah berbuka .”

Al-Imam An-Nawawy As-Syafi’iy رحمه الله dalam Syarah Shohih Muslim (7/181 ) menjelaskan :
“Maknanya adalah telah selesai dan sempurna puasanya dan dia sekarang telah disifati sebagai orang yang buka puasa, sebab dengan tenggelamnya matahari, hilanglah siang dan datanglah malam, sementara malam itu bukan tempat untuk puasa.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany As-Syafi’iy رحمه الله menjelaskan lebih lanjut :
“Dalam hadits ini Beliau r menyebutkan tiga perkara, walaupun ketiganya pada asalnya saling berkaitan namun tekadang secara zhohir tidak demikian, bisa jadi disangka telah datang waktu malam dari arah timur namun datangnya tidak secara hakiki disebabkan adanya sesuatu yang menutupi cahaya matahari, demikian pula perginya waktu siang, dari sinilah Beliau r mengkaitkannya dengan sabdanya “dan matahari telah tenggelam” sebagai isyarat adanya persyaratan terwujudnya datang (malam) dan pergi (siang), yang keduanya diketahui dengan perantara tenggelamnya matahari bukan dengan sebab lainnya. “ ( Fathul Bari 4/710)

Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1955 dan Muslim no. 1101/52-53 dari jalan Abu Ishak As-Syaibany رحمه الله dari Abdullah bin Aufa t beliau berkata : “ Kami pernah bersama Rosulullah r dalam suatu safar sedangkan Beliau r berpuasa, tatkala matahari telah hilang Beliau berkata kepada sebagian kaum : “ Wahai fulan! Bangunlah buatkan untuk kita Al-Jadh (tepung sawik dicampur dengan air diaduk hingga rata, pent). ” dia berkata : “ Wahai Rosulullah! Seandainya engkau tunda hingga lebih sore?” kata Beliau : ”Bangunlah buatkan kami Al-Jadh !” dia berkata : ”wahai Rosulullah! Kalau engkau tunda hingga lebih sore .” , kata Beliau : “Turunlah buatkan kami Al-Jadh !!” dia berkata :” sesungguhnya ini masih terang!!”, kata Beliau :” Turunlah! Buatkan kami Al-Jadh!!!” diapun turun lalu membuatkan mereka Al-Jadh, Rosulullah r pun meminumnya lalu bersabda :
إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“ Bila kalian telah melihat malam telah datang dari arah sini (timur), maka telah berbuka orang yang puasa itu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany رحمه الله juga menerangkan : “Dalam hadits ini juga ada anjuran menyegerakan berbuka puasa, dan tidak ada keharusan menahan sebagian malam secara mutlak, bahkan kapan saja diyakini tenggelamnya matahari. Maka telah halal berbuka puasa.” (Fathul Bari 4/711)

Dari penjelasan dua hadits di atas berikut uraian dua Imam dari Madzhab Syafi’iy di atas, jelaskan bagi kita bahwa berakhirnya waktu puasa adalah semata-mata tenggelamnya matahari. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rosulullah r dan para shohabatnya sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa t di atas.
Juga secara khusus telah dilakukan oleh seorang shohabat yang mulia Abu Said Al-Khudry t , sebagaiman yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah dari jalan Abdul Wahid bin Aiman dari bapaknya dia berkata : “Kami pernah masuk kepada Abu Sa’id lalu dia berbuka puasa semetara kami melihat bahwa matahari belum tenggelam.”

Atsar ini sanadnya Hasan. Abdul Wahid bin Aiman LA BA’SA BIHI ( tidak mengapa dalam hadits) ya’ni dihasankan haditsnya, sementara bapaknya, AL-IMAN AL-HABASY AL-MAKKY dia TSIQOH (terpercaya haditsnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله menjelaskan tentang atsar di atas “Sisi pendalilan dari atsar ini adalah bahwasanya Abu Sa’id tatkala merasa yakin matahari telah tenggelam, beliau tidak mencari keterangan tambahan lain dan tidak pula menoleh kepada persetujuan orang-orang yang disekitarnya…” ( Fathul Bari 4/710)

Untuk memperjelas lagi makna ayat di atas. Berikut ini saya bawakan penjelasan sebagian ahli tafsir tentang ayat di atas, diantaranya :
Al-Imam Al-Qodli Abu Bakar Ibnul Aroby Al-Maliky رحمه الله dalam Ahkamul Qur’an, 1/105. Menjelaskan :
“ Masalah ke sepuluh : firman-Nya I : ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Robb kita yang Maha Tinggi mensyaratkan kesempurnaan puasa hingga jelasnya waktu malam, sebagaimana Allah I membolehkan makan hingga jelasnya waktu siang, namun bila telah jelas waktu malam, maka Sunnahnya adalah menyegerakan buka puasa.” Lalu beliau membawakan hadits Abdullah bin Abi Aufa diatas.
Al-Imam Ibnu Katsir As-Syafi’iy رحمه الله dalam tafsirnya 1/230 menguraikan:
“Firman-Nya I (ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ) mengharuskan berbuka puasa ketika tenggelamnya matahari sebagai hukum syar’iy.”
Al-Imam Asy-Syaukany Al-Yamany رحمه الله dalam Fathul Qodir, 1/339 menjelaskan pula :
“Firman-Nya I (ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ), di dalamnya ada ketegasan bahwa puasa memiliki batas akhir yaitu malam. Maka ketika malam datang dari arah timur dan siang pergi dari arah barat, orang puasa berbuka puasa dan halal baginya makan, minum, dan yang lainnya.”




XI. ANJURAN MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA

Dua hadits yang saya bawakan di atas menunjukkan praktek Rosulullah r dan para sahabatnya y dalam hal menyegerakan berbuka puasa.
Berikut ini saya bawakan beberapa hadits yang menjelaskan keutamaan menyegerakan berbuka puasa :
Menyegerakan berbuka puasa membawa kebaikan bagi segenap umat manusia
Dalam Shohih Al-Bukhory no. 1957 dan Muslim no. 1098 dari jalan Abu Hazim Salamah bin Dinar dari Sahl bin Sa’d t , bahwasanya Rosulullah r bersabda :

لاَيَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الفِطْرَ
”Umat manusia ini akan senantiasa baik selama mereka menyegerakan buka puasa “

Al-Imam An-Nawawy As-Syafi’iy رحمه الله menjelaskan :
“Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyegerakan buka puasa setelah dipastikan tenggelamnya matahari, makna hadits ini adalah urusan umat ini akan senantiasa teratur rapi dalam kebaikan selama mereka menjaga Sunnah ini, bila mereka mengakhirkannya maka itu adalah tanda kerusakan yang bakal menimpa mereka.” ( Syarah Sohih Muslim 7/181)

Menyegerakan berbuka puasa adalah Sunnah Rosulullah r .
Dalam Shohih Ibnu Hibban no.891 dengan sanad yang dishohihkan oleh syekh Ali Hasan dan Syekh Salim Al-Hilaly dalam ‘ Sifat Shoum An-Nabi ‘ hal. 63. Dari hadits Sahl bin Sa’d t bahwa Rosulullah r bersabda :

لاَتَزَالُ أُمَّتِي عَلَى سُنَّتِي مَالَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النَّجُوْمَ
“uamatku akan senantiasa diatas Sunnahku selama mereka tidak menanti munculnya bintang balam buka puasa.”

Menyegerakan berbuka puasa adalah tanda nampaknya syi’ar agama ini sekaligus menyelisihi sunnahnya Ahli kitab: Yahudi dan Nashroni .
Dalam Sunan Abu Dawud 2/305 dan Shohih Ibnu Hibban no.224 dengan sanad yang dihasankan oleh Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilaly dalam ‘Sifat Shoum An-Nabi ’ hal 64 dari hadits Abu huroiroh t bahwa Rosulullah I bersabda :

لاَيَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَاعَجَّلَ النَّاسُ الفِطْرَ لأَِنَّ اليَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini akan senantiasa nampak selama umat manusia itu menyegerakan buka puasa, sebab orang yahudi dan nashoro mengakhirkannya.”

Menyegerakan buka puasa adalah pendapat seluruh kaum muslimin semenjak zaman shahabat sampai sekarang dan hari Qiamat nanti, tidak ada yang menyelisihinya kecuali dua golongan aliran sesat :

1. Orang – orang Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nashroni .

Mereka inilah nenek moyang setiap orang yang mengakhirkan buka puasa.
Aliran Syi’ah Rofidloh kaum Munafiqin dari umat ini, bahkan banyak para ‘Ulama’ yang mengkafirkan aliran ini.
Mereka inilah perpanjangan tangan kaum Zionis–Salibis yang berupaya menghancurkan dan menjajah Islam dan kaum muslimin dalam program Imprialisme Internasional mereka .

Al–Imam Ibnu Daqiq Al‘Ied رحمه الله menjelaskan hadits Sahl bin Sa’d t dalam Shohih Al-Bukhory dan Muslim di atas dengan ucapannya:
“Menyegerakan buka puasa setelah di yakini tenggelamnya Matahari adalah perkara yang dianjurkan dengan kesepakatan para ‘Ulama’, dalilnya adalah hadits ini. Dalam hadits ini ada dalil yang membantah aliran syi’ah yang mengakhirkan (buka puasa) hingga munculnya bintang. Mungkin inilah sebab keadaan umat ini senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa, karena bila mereka mengakhirkannya mereka akan terjatuh dalam pebuatan menyelisihi Sunnah dan mereka akan senantiasa dalam kebaikan sepanjang mereka menjalankan Sunnah ( Ihkamul Ahkam, 2/179)

Dengan adanya kesepakatan yang dinukil oleh beliau ini maka atsar yang disandarkan kepada shohabat Abu Musa Al-Asy’ary t dimana beliau mengakhirkan buka puasa hingga muncul bintang, sebagaimana : yang termaktub tanpa sanad dlm kitab Al-Muhalla(6/241) karya Ibnu Hazm. Perlu ditanyakan dan diperiksa kembali keshohihannya, kalaulah shohih, maka ini adalah semata-mata ijtihad beliau yang salah dan beliau mandapatkan satu pahala, pendapat ini tidak boleh di toleh sedikitpun karena sangat bertentangan dengan dalil-dalil di atas, bahkan Ibnu Hazm sendiri menolak pendapat ini wallahu a’lam.
Berikut ini saya bawakan penjelasan para ‘Ulama dahulu maupun sekarang ttg anjuran menyegerakan berbuka puasa dan cara mengetahui masuknya waktu berbuka :;

Al-Imam As-Syafi’iy رحمه الله.
“Saya menganjurkan menyegerakan buka puasa dan tidak mengakhirkannya, saya tidak suka mengakhirkannya bila seseorang sengaja melakukannya setelah dia melihat ada keutamaan di dalamnya.” Kemudian beliau membawakan hadits Sahl bin Sa’d t di atas. ( Al-Umm 2/106)

Al Imam Ibnu Abdil Barr Al-Andalusy Al-Maliky رحمه الله. Wafat tahun 463 H. Seorang ‘Ulama besar yang paling faham tentang Madzhab Maliky dalam kitabnya At-Tamhid, 7/181 cet. II Al-Faruq Al-Haditsah-Cairo tahun 1422 H/2001 M. Beliau menjelaskan :
“Termasuk Sunnah adalah menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur. Menyegerakan berbuka puasa dapat terealisasikan setelah diyakini tenggelamnya matahari, tidak boleh bagi siapapun untuk berbuka puasa dalam keadaan dia ragu matahari telah tenggelam atau tidak ? Sebab kewajiban itu bila ditentukan dengan keyakinan, maka tidak boleh keluar daripadanya melainkan dengan keyakinan .

Allah U berfirman : ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
sementara awal malam adalah tenggelamnya matahari seluruhnya dari pandangan orang-orang yang melihatnya.”

Al-Imam Ibnu Hazm Al-Andalusy رحمه الله, tokoh utama Madzhab Zhohiri.
“Termasuk Sunnah adalah menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur, dan itu diketahui hanya dengan hilangnya matahari dari ufuqnya orang yang puasa tidak lebih daripada itu.” ( Al-Muhalla 6/240 ).

Al-Imam Al-Muhallab As-Syafi’iy رحمه الله :
“Para ‘Ulama sepakat bahwa waktu buka puasa adalah bila telah diyakini tenggelamnya matahari dengan pandangan kasat mata atau khobar dua orang yang adil, demikian pula khobar satu orang adil menurut pendapat yang kuat.” ( lihat Fathul Bari 4/713)

Al-Imam An-Nawawy رحمه الله dalam kitab besarnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab 6/262. Menukilkan kesepakatan ‘Ulama Madzhab Syafi’iy dan ‘Ulama lainya tentang anjuran menyegerakan buka puasa dengan dalil hadits-hadits shohih yang tersebut diatas, dan beliau menyebutkan dua hikmah :
1. Membantu meringankan orang yang berpuasa.
2. Menyelisihi Ahlul Kitab.

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah رحمه الله , wafat tahun 728 H.
Beliau pernah ditanya tentang ‘Tenggelamnya Matahari’ : “Apakah boleh bagi orang yang berpuasa berbuka dengan semata-mata tenggelamnya matahari? “
Jawab beliau : “Bila telah hilang seluruh bundaran matahari maka orang berpuasa boleh berbuka dan tidak dianggap adanya warna merah yang tersisa di ufuq. Bila telah hilang bundaran matahari, maka akan tampak hitamnya malam dari arah timur…” (Majmu’ Al-Fatawa, 25/215-216)

Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir As-Shon’any رحمه الله , wafat 1182 H.
“Hadits ini ( hadits Sahl ) adalah dalil yang menunjukkan anjuran menyegerakan buka puasa bila telah diyakini tenggelamnya matahari dengan pandangan kasat mata atau dengan kabar seseorang yang boleh diamalkan ucapannya…” ( Subulus Salam, 2/313 cet. I , Daarul Fikr tahun 1411 H/1991 M)

Al-Imam Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin رحمه الله.
“Ucapan beliau : “dan menyegerakan buka puasa” yakni menyegerakannya bila matahari telah tenggelam. Yang dianggap adalah tenggelamnya matahari bukan adzan apa lagi sekarang ini orang banyak bersandar dengan jadwal lalu mereka cocokkan jadwal tadi dengan jam-jam mereka. Padahal jam-jam mereka itu mengalami perubahan, kadang maju kadang mundur.
Bila matahari telah tenggelam dan engkau menyaksikannya sementara orang–orang belum adzan, maka engkau boleh berbuka puasa karena Rosulullah r bersabda :

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا-وَإِشَارَ إِلَىالمَشْرِقِ- وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا-وَإِشَارَ إِلَىالمَغْرِبِ- وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Bila Malam telah datang dari arah sini (timur) dan siang telah pergi dari arah sini (barat) dan telah tenggelam matahari, maka sungguh orang yang puasa telah berbuka .”
Tidak dianggap adanya sinar yang kuat, sebagian orang menyatakan : “Kita tidak berbuka puasa hingga hilang bundaran matahari dan hari mulai gelap.” Ini semua tidak dianggap, tapi lihatlah mataharinya! Bila telah hilang bagian atas maka matahari telah tenggelam dan dianjurkan berbuka puasa…” ( As-Syarhul Mumti’ 3/81)

Beliau juga menjelaskan hal ini dalam kitab yang lain Majalis Syahri Romadlon hal. 125 : “Termasuk adab puasa yang dianjurkan adalah menyegerakan buka puasa bila telah dipastikan tenggelamnya matahari dengan menyaksikannya atau kemungkinan besar telah tenggelam dengan khobar yang tepercaya baik itu adzan ataupun yang lainnya…”

Al-‘Allamah Sholih bin Fauzan Al-Fauzan حفظه الله .
“Dianjurkan menyegerakan buka puasa bila matahari dipastikan telah tenggelam dengan cara menyaksikannya atau kemungkinan besar telah tenggelam dengan khobar terpercaya baik adzan ataupun yang lainnya…” ( Al-Mulakhosul Fiqh hal. 230).

Al-‘Allamah Abdullah Aalu Bassam رحمه الله .
“Anjuran menyegerakan buka puasa. Para ‘Ulama telah sepakat dianjurkannya menyegerakan buka puasa bila matahari telah tenggelam dengan pandangan kasat mata atau kemungkinan besar telah tenggelam.” (Taudlihul Ahkam 3/153)
Di halaman yang sama beliau menjelaskan:
“Para ‘Ulama sepakat bahwa menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah Sunnah yang harus diikuti, demikian dihikayatkan oleh Al-Wazir Ibnu Hubairoh dan ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin.”
Beliau Melanjutkan:
“ Allah I befirman : ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Ini menunjukkan bahwa buka puasa dilakukan ketika matahari tenggelam. Mereka telah sepakat bahwa puasa telah berakhir dengan tenggelamnya matahari secara sempurna, dan yang Sunnah adalah berbuka puasa ketika matahari dipastikan tenggelam serta diperbolehkannya buka puasa dengan perasangka yang kuat dengan kesepakatan (‘Ulama), karena prasangka yang kuat menduduki tempat keyakinan.”

Demikianlah sedikit penjelasan dari para ‘Ulama terkemuka saya nukilkan untuk semakin memperjelas masalah ini. Cukuplah bagi kita ayat dan hadits serta ijma’ para ‘Ulama untuk mengamalkan Sunnah yang terlupakan ini.
Yang perlu diingat adalah dengan tenggelamnya matahari berarti telah habis waktu puasa dan masuklah waktu maghrib disaat itulah dikumandangkan adzan sebagai pertanda waktu buka puasa dan sholat maghrib. Lebih lnjut tentang masalah waktu sholat maghrib, baca tulisan Kakanda tercinta (PEDOMAN WAKTU SHOLAT ABADI SESUAI PETUNJUK NABI r ).

Sebelum saya akhiri pembahasan ini, perlu saya bawakan beberapa permasalahan yang perlu diperhatikan oleh segenap kaum muslimin, diantaranya adalah :
Dianjurkan bebuka puasa terlebih dahulu walaupun dengan seteguk air sebelum melaksanakan sholat maghrib, dan ini adalah pendapat Jumhur ‘Ulama sebagaimana zhohir hadits diatas.
Dan diriwayatkan dari Umar bin Khoththob dan Utsman bin Affan رضي الله عنهما dengan sanad shohih bahwa beliauo berdua bebuka puasa setelah sholat maghrib ( lihat Al-Umm 2/106)
Al-‘Allamah Sholih bin Fauzan Al-fauzan حفظه الله memperingatkan :
“Di sini ada perkara yang harus diperhatikan yaitu sebagian orang terkadang duduk di meja buka puasanya, makan dan meninggalkan sholat maghrib secara berjama’ah di masjid, diapun terjatuh pada kesalahan fatal yaitu tidak berjama’ah di masjid, diapun luput dari pahala besar dan menyerahkan dirinya kepada adzab.
Yang dianjurkan bagi orang yang puasa adalah dia berbuka puasa terlebih dahulu lalu pergi sholat kemudian makan malam setelah itu.” ( Al-Mulakhoshul Fiqh hal.230 ).

Hal ini juga diingatkan oleh ahli hadits terkemuka zaman ini Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albany رحمه الله dalam karya besar beliau Silsilah Dho’ifah No: 631, lihat : Nudhumul Faroid (1/513-514).

Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله memberi peringatan tegas : “Peringatan !!! Termasuk kebid’ahan yang di ingkari adalah apa yang terjadi di zaman sekarang ini yaitu mengumandangkan adzan subuh yang ke-dua sekitar 1/3 jam sebelum fajar di bulan Romadhon dan memadamkan lampu yang dijadikan sebagai tanda haramnya makan dan minum bagi yang hendak puasa, dengan anggapan dari orang yang mengadakannya bahwa hal tersebut untuk kehati-hatian dalam ibadah, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir orang.
Perbuatan ini pun membuat mereka tidak mengumandangkan adzan(maghrib) kecuali setelah matahari sudah lama tenggelam, “untuk memantapkan waktu” kata mereka. Merekapun mengakhirkan buka puasa, menyegerakan sahur dan menyelisihi Sunnah.
Oleh sebab itulah sedikit sekali kebaikan ada pada mereka dan menyebarlah kejelekan di kalangan mereka, wa allahu musta’an.”(Fathul Bari 4/713 –714)

Saya katakan : “Alangkah miripnya apa yang terjadi di zaman beliau dengan apa yang terjadi di zaman sekarang, hanya saja dulu menggunakan cara ”memadamkan lampu” dan sekarang menggunakan ”IMSAK”atau “SIRENE”!!!
Mudah-mudahan apa yang saya tulis ini bisa menjadi penjelasan bagi kaum muslimin yang menginginkan kebenaran dalam agamanya dan dapat merubah kebiasaan umum di kalangan masyarakat namun menyempal dari ajaran islam ini.

وما أريد إلاّ الإصلاح ما استطعتُ وماتوفيقى إلا بالله عليه توكلت وإليه آنيب
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
وصلىالله علىنبينا محمد و على آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا


Di tulis oleh :

Abu Abdillah Muhammad ‘Afifuddin As Sidawy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar