Di bulan Ramadhan banyak da’i-da’i yang bermunculan, mulai dari yang berilmu sampai yang karbitan. Semua mengambil bagian dalam jadwal-jadwal ceramah sehingga terkadang yang jahil diantara mereka sering kali menimbulkan pelanggaran, di antaranya adalah menghiasi ceramah-ceramahnya dengan hadits-hadits dha’if (lemah), bahkan maudhu’ (palsu)!!
Padahal hadits-hadits lemah tidak boleh dipakai berdalil, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, dan fadha’il (keutamaan), apalagi jika haditsnya palsu.Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan -rahimahullah- beliau berkata dalam Nuzul Al-Abrar (hal. 45):
“Telah keliru orang yang menyatakan bahwa boleh (bagi seseorang) toleransi terhadap hadits-hadits yang ada dalam fadha’il amal. Itu (keliru) karena hukum-hukum syari’at sama derajatnya, tidak ada bedanya antara yang wajib, haram, sunnah, makruh dan mandubnya, tidak boleh menetapkan sesuatu darinya kecuali dengan (dalil) yang bisa dijadikan hujjah. Kalau tidak, niscaya itu merupakan kedustaan atas nama Allah yang tidak pernah difirmankan dan kelancangan terhadap syari’at yang suci ini dengan memasukkan sesuatu yang bukan termasuk darinya.
Sungguh telah shahih secara mutawatir bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di nereka”.
Ini yang dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengharapkan kebaikan untuk manusia dengan memperoleh pahala, tidak bisa diharapkan kecuali ia itu akan jadi ahli neraka”.
Hadits dha’if, dan palsu tidak boleh dipakai berhujjah dalam segala: aqidah, hukum, ibadah, akhlaq, karena ini termasuk taqawwul (berdusta) atas nama Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- .
Al-Allamah Ibnul Arabiy Al-Malikiy-rahimahullah- berkata, “Hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak”.[Lihat Al-Muqni’ fi Ulum Al-Hadits (hal. 104) oleh Sirojuddin Umar bin Ali Al-Anshariy]
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata dalam Tamam Al-Minnah (hal. 34), “Sesungguhnya sebagian ulama muhaqqiqin berpendapat tidak bolehnya hadits-hadits dha’if diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah hukum maupun dalam masalah fadha’il a’mal “.
Jadi, tidak boleh berdalil dengan hadits dha’if walaupun untuk menjelaskan keutamaan suatu ibadah, seperti hadits-hadits berikut yang akan kami jelaskan derajat dan segi ke-dha’if-an, serta kepalsuannya agar para pembaca dan penceramah berhati-hati jangan sampai menjadikannya sebagai hujjah dan dalil:
Hadits Pertama
Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِيْ رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا إِنَّ الْجَنَّةَ لَتُزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ
“Andaikan para hamba mengetahui apa yang terdapat dalam Ramadhan, niscaya ummatku akan mengharapkan Ramadhan adalah setahun penuh. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun ke tahun berikutnya”. [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya(1886), Abu Ya’laa dalam Al-Musnad (5273), Ibnul Jauziy dalam Al-Maudhu’at (2/188-189)]
Hadits ini palsu, karena terdapat rawi yang bernama Jarir bin Ayyub Al-Bajaliy Al-Kufiy. Dia seorang yang memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini palsu dalam Dha’if At-Targhib (596), dan Adh-Dha’ifah (871)
Hadits Kedua
Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
يَا أَيُّهَا النّاَسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ… وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Wahai manusia, sungguh kalian telah dinaungi oleh bulan yang agung; bulan yang di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Allah menjadikan puasa di bulan itu sebagai kewajiban, dan shalat malamnya sebagai tathawwu’ (sunnah). Barang siapa yang mendekatkan diri di dalamnya dengan satu bentuk kebaikan, maka ia ibaratnya orang yang menunaikan kewajiban pada selain Ramadhan…Awalnya adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”. [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya(1887), Al-Mahamiliy dalam Al-Amaliy (293)]
Hadits ini dha’if (lemah), karena ada rawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jad’an. Dia adalah seorang yang jelek hafalannya sehingga menyebabkan haditsnya lemah. Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini dha’if munkar dalam Adh-Dha’ifah (871 & 1569)
Hadits Ketiga
Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat”. [HR. Ath-Thabraniy dalam Al-Ausath (8312), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/357/488 & 7/57/1986)]
Dalam sanad Ath-Thabraniy ada rawi yang bernama Zuhair bin Muhammad. Haditsnya dha’if jika diriwayatkan oleh orang-orang Syam dari Zuhair, sedang hadits ini termasuk diantaranya. Adapun riwayat Ibnu Adi, dalam sanadnya terdapat Husain bin Abdullah bin Dhumairoh Al-Himyariy (orangnya tertuduh dusta), dan Nahsyal bin Sa’id Al-Wardaniy (orangnya matruk/ditinggalkan). Jadi, riwayat-riwayat ini tak bisa saling menguatkan. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy men-dha’if-kan hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (253)
Hadits Keempat
Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Apabila Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- berbuka, maka beliau berdo’a, “Ya Allah, karena Engkau aku berpuasa, dengan rezqi-Mu aku berbuka. Ya Allah, terimalah (amal shaleh) dariku; Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.”. [HR. Ad-Daruquthniy dalam Sunan-nya (26), dan Ath-Thabraniy dalam Al-Kabir (12720)]
Hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya terdapat Abdul Malik bin Harun bin Antaroh (orangnya tertuduh dusta). Sebab itu, Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini dha’if jiddan (lemah sekali) dalam Irwa’ Al-Gholil (919)
Hadits Kelima
Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الصَّائِمُ فِيْ عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa (senantiasa) dalam ibadah, sekalipun ia tidur di atas tempat tidurnya”. [HR. Tamam Ar-Roziy dalam Al-Fawa’id (18/172-173)]
Hadits ini dha’if (lemah), karena di dalamnya terdapat rawi-rawi yang tak dikenal, seperti Yahya bin Abdullah Az-Zajjaj, dan Muhammad bin Harun. Syaikh Al-Albaniy men-dha’if-kan hadits ini dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah (653)
Hadits Keenam
Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الصَّائِمُ فِيْ عِبَادَةٍ مَا لَمْ يَغْتَبْ
“Orang yang berpuasa (senantiasa) dalam ibadah selama ia tidak meng-ghibah”. [HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (5/283/1421)]
Hadits ini dha’if munkar, karena AbdurRahim bin Harun Abu Hisyam Al-Ghossaniy, seorang yang tertuduh dusta !! [Lihat Adh-Dha’ifah (1829)]
Hadits Ketujuh
Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الصَّائِمُ فِيْ عِبَادَةٍ مِنْ حِيْنَ يُصْبِحُ إِلَى أَنْ يُمْسِيَ إِذَا قَامَ قَامَ وَإِذَا صَلَّى صَلَّى وَإِذَا نَامَ نَامَ وَإِذَا أَحْدَثَ أَحْدَثَ: مَا لَمْ يَغْتَبْ فَإِذَا اغْتَابَ خَرَقَ صَوْمَهُ
“Orang yang berpuasa senantiasa dalam ibadah sejak subuh sampai sore. Jika ia shalat malam, maka ia shalat malam; jika ia tidur, maka ia tidur; jika ia berhadats maka ia berhadats, selama ia tidak menggibah orang. Jika ia menggibah, maka ia melobangi (merusak) puasanya”. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (2/257-258)]
Hadits ini derajatnya palsu, karena ada dua orang pendusta, yaitu Muqotil bin Sulaiman Al-Balkhiy, dan Umar bin Mudrik. Sebab itulah, Al-Albany menyatakan hadits ini palsu dalam Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (3790).
Hadits Kedelapan
Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad akbar (yang besar)”. [HR. Al-Baihaqiy dalam Az-Zuhd sebagaimana dalam Takhrij Al-Ihya’ (2/6)]
Hadits ini lemah sekali, karena dalam sanadnya terdapat Isa bin Ibrahim, Yahya bin Ya’laa, dan Laits bin Abi Sulaim. Ketiga orang ini lemah.
Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafazh lain,
قَدِمْتُمْ خَيْرَ مَقْدَمٍ قَدِمْتُمْ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ: مُجَاهَدَةِ الْعَبْدِ هَوَاهُ
“Kalian telah datang (pulang) dengan kepulangan yang baik, kalian datang (pulang) dari jihad kecil menuju jihad akbar (yang besar), yaitu seorang hamba melawan hawa nafsunya”. [HR. Abu Bakr Asy-Syafi’iy dalam Al-Fawa’id Al-Muntaqoh (13/83/1), Al-Baihaqiy dalam Az-Zuhd (42/1), dan Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (13/523-524)]
Hadits ini juga dha’if (lemah), karena jalur periwayatannya sama !! Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Adh-Dha’ifah (2460)
Hadits Kesembilan
Konon kabarnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ وَعَلَى كُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصِّيَامُ
“Puasa adalah separuh kesabaran. Segala sesuatu memiliki zakat, sedang zakat bagi jasad adalah puasa”. [HR. Ibnu Majah dalam As-Sunan (), Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman (3577), dalam Al-Qudha’iy dalam Musnad Asy-Syihab (158, dan 229)]
Hadits ini dha’if (lemah), karena seorang rawi yang bernama Musa bin Ubaidah; seorang yang disepakati kelemahannya oleh para ahli hadits sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’ifah (3810)
Nasihat bagi Para Da’i
Jika kalian memberikan nasihat dan wejangan kepada para jama’ah, maka janganlah kalian menghiasi ceramah kalian dengan hadits-hadits dha’if, dan palsu. Sayangilah diri kalian sebelum kalian terkena sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya(110), dan Muslim dalam Shahih-nya (3)]
Periksalah hadits-hadits yang kalian sampaikan dalam ceramah-ceramah kalian. Jika tidak tahu, maka belajarlah, dan tanya kepada orang-orang yang berilmu. Janganlah perasaan malu dan sombong membuat dirimu malu bertanya dan belajar sehingga engkau sendiri yang menggelincirkan dirimu dalam neraka, wal’iyadzu billah !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar