28 Juli 2011

FIDYAH DAN BERBAGAI HUKUM YANG TERKAIT DENGANNYA



Di antara syari’at yang diberlakukan oleh Allah subhanahu wata’ala pada shaum Ramadhan adalah pembayaran fidyah yang Allah wajibkan terhadap pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala :
)وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ (البقرة: ١٨٤ 
‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]

a. Pihak – Pihak Yang Terkenai Hukum Fidyah

1. Orang yang sudah lanjut usia.
Orang yang lanjut usia, pria maupun wanita, yang masih sehat akalnya dan tidak pikun namun tidak mampu melakukan shaum. Maka diizinkan baginya untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan namun diwajibkan atasnya membayar fidyah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, :
ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ). قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.
Shahabat Ibnu ‘Abbas membaca ayat ‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]; maka beliau berkata : “Ayat tersebut tidaklah dihapus hukumnya, namun berlaku untuk pria lanjut usia atau wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk bershaum (pada bulan Ramadhan). Keduanya wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ia tinggalkan (ia tidak bershaum). [HR. Al-Bukhari 4505] 

2. Sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya
Seorang yang tidak mampu bershaum disebabkan sakit dengan jenis penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau juga berkata tentang ayat di atas :
لاَ يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلاَّ لِلَّذِي لاَ يُطِيْقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٌ لاَ يُشْفَى
“Tidaklah diberi keringanan pada ayat ini (untuk membayar fidyah) kecuali untuk orang yang tidak mampu bershaum atau orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. [An-Nasa`i] [1])

3. Wanita hamil dan menyusui. 
Para ‘ulama sepakat bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui diperbolehkan baginya untuk tidak bershaum di bulan Ramadhan jika dia tidak mampu untuk bershaum, baik ketidakmampuan tersebut kembali kepada dirinya sendiri atau kekhawatiran terhadap janin atau anaknya. Namun apabila dia mampu untuk bershaum maka tetap baginya kewajiban bershaum sebagaimana dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam fatawa beliau jilid 1 hal. 497-498.
Sedangkan permasalahan hukum yang berlaku bagi wanita hamil atau menyusui jika dia tidak bershaum di bulan Ramadhan maka terjadi perbedaan pandang dikalangan para Ulama dalam beberapa pendapat :


Pendapat pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atas wanita hamil atau menyusui kecuali mengqadha` secara mutlak (tidak ada kewajiban atasnya membayar fidyah), baik disebabkan ketidakmampuan atau kekhawatiran terhadap diri sendiri jika bershaum pada bulan Ramadhan, maupun disebabkan kehawatiran terhadap janin atau anak susuannya.
Dalil Pendapat Pertama ini adalah :

1. Firman Allah subhanahu wata’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا . البقرة: ١٨٤
“…Barang siapa dalam kondisi sakit …”
Bentuk pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita hamil atau menyusui yang tidak mampu untuk bershaum sama dengan orang yang tidak mampu bershaum karena sakit. Telah kita ketahui bahwa hukum yang berlaku bagi seorang yang tidak bershaum karena sakit adalah wajib mengqadha`. Maka atas dasar itu berlaku pula hukum ini bagi wanita hamil atau menyusui.

2. Dalil mereka yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
… إِنَّ اللهَ وَضَعَ شَطْرَ الصَّلاَةِ -أَوْ نِصْفَ الصّلاَةِ- وَ الصَّومَ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ وَ الْحُبْلَى (رواه الخمسة)
“Sesungguhnya Allah memberikan keringanan setengah dari kewajiban sholat (yakni dengan mengqoshor) dan kewajiban bershaum kepada seorang musafir serta wanita hamil dan menyusui.” [HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i dan Al-Imam Ahmad].([2])
Sisi pendalilan dari hadits ini, bahwa Allah subhanahu wata’ala mengaitkan hukum bagi musafir sama dengan wanita hamil atau menyusui. Hukum bagi seorang musafir yang berifthar (tidak bershaum) di wajibkan baginya qadha`, maka wanita hamil atau menyusui yang berifthar (tidak bershaum) terkenai pada keduanya kewajiban qadha` saja tanpa fidyah sebagaimana musafir.
Pendapat ini adalah pendapat yang ditarjih oleh Asy-Syaikh Bin Baz [3]), Asy-Syaikh Al-’Utsaimin [4]), dan Al-Lajnah Ad-Da`imah [5])


Pendapat kedua : bahwa wanita hamil atau menyusui yang berifthar ( tidak bershaum ) karena kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, wajib atasnya untuk membayar fidyah, tanpa harus mengqadha`.
Di antara dalil mereka yaitu :

1. Atsar Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata :
الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلاَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا [رواه أبو داود]
“Wanita hamil atau menyusui dalam keadaan keduanya takut terhadap anaknya boleh bagi keduanya berifthar ( tidak bershaum ) dan wajib bagi keduanya membayar fidyah. [HR Abu Dawud] [6])

2. Juga atsar Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa beliau berkata :
إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ، قَالَ : يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ عَلَى كُلِّ يَوْمٍ مَسْكِيْنًا وَلاَ يَقْضِيَانِ صَوْمًا
(Ibnu Abbas ditanya), jika wanita hamil khawatir terhadap dirinya dan wanita menyusui khawatir terhadap anaknya berifthor di bula Ramadhan ) beliai berkata : kedianya boleh berifthor dan wajib keduanya membaya fidyah pada setiap harinya seorang miskin dan tidak ada qodho’ bagi keduanya. [Ath-Thabari] [7])
Juga masih dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata kepada seorang wanita hamil atau menyusui :
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ
“Engkau posisinya seperti orang yang tidak mampu (bershaum). Wajib atasmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari (yang engkau tidak bershaum), dan tidak ada kewajiban qadha` atasmu.” [Ath-Thabari] [8])

Semakna dengan atsar di atas, juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma oleh Al-Imam Ad-Daraquthni (no. 250).

3. Atsar Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata :
الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ تُفْطِرُ وَلاَ تَقْضِي
“Wanita hamil dan menyusui berifthar (boleh tidak bershaum pada bulan Ramadhan) dan tidak ada (kewajiban) untuk mengqadha` atasnya.” 
Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. [9])
Pendapat ketiga adalah : Wajib atas wanita hamil dan menyusui yang tidak bershaum pada bulan Ramadhan untuk mengqadha` sekaligus membayar fidyah apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya.
Namun apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah karena memang dia sendiri (wanita hamil atau menyusui) tidak mampu bershaum tanpa disebabkan kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, maka wajib atasnya mengqadha` tanpa membayar fidyah.

Di antara ‘ulama masa kini yang mentarjih pendapat ini adalah Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah dalam Al-Muntaqa jilid 3 hal. 147. [10])
Dari tiga pendapat di atas, kami lebih meyakini pendapat kedua sebagai pendapat yang lebih mendekati kepada kebenaran. Karena pendapat ini adalah pendapat yang ditegaskan oleh dua shahabat terkemuka, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma sebagai turjuman dan mufassir Al-Qur`an, dan ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma , wallahu ta’ala a’lam.

______________________________​__________
[1] HR. An-Nasa`i no. 2317. Diriwayatkan pula oleh Ad-Daraquthni (2404) dengan lafazh :
وَلاَ يُرَخَّصُ إِلاَّ لِلْكَبِيرِ الَّذِى لاَ يُطِيقُ الصَّوْمَ أَوْ مَرِيضٍ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُشْفَى.
“Tidaklah dizinkan (untuk membayar fidyah dalam ayat tersebut) kecuali untuk orang yang sudah lanjut usia dan tidak mampu bershaum atau seorang yang sakit dalam keadaan dia tahu bahwa penyakitnya sulit disembuhkan.”
Atsar tersebut dishahihkan oleh Asy-Syaikh dalam Al-Irwa` IV/17
[2] Hadits ini dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albaani dalam Shohih Sunan Abu Daud no. 2409 dan Asy Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al Jaami’ush Shohih jilid 2 hal. 390 menyatakan sebagai hadits hasan.
[3] Dalam kitabnya Tuhfatul Ikhwan Bi Ajwibah Muhimmah Tata’alaqu Bi Arkanil Islam hal. 171
[4] Majmu‘ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin
[5] Fatawa Al-Lajnah no. 1453.
[6] HR. Abu Dawud no. 2318. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` no. 912.
[7] Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` IV/19.
[8] Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa` IV/19.
[9] Lihat pembahasan lebih luas dalam kitab beliau Irwa`ul Ghalil jilid IV hal. 17 – 25.
[10] Lihat Fatwa Ramadhan hal. 324 – 326.

27 Juli 2011

Kisah Mahar Paling Mulia

Penyusun: Ummu Ishaq

Sejarah telah berbicara tentang berbagai kisah yang bisa kita jadikan pelajaran dalam menapaki kehidupan. Sejarah pun mencatat perjalanan hidup para wanita muslimah yang teguh dan setia di atas keislamannya. Mereka adalah wanita yang kisahnya terukir di hati orang-orang beriman yang keterikatan hati mereka kepada Islam lebih kuat daripada keterikatan hatinya terhadap kenikmatan dunia. Salah satu diantara mereka adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama Ummu Sulaim.
Siapakah Ummu Sulaim ?
Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam. Kemarahan suaminya yang masih kafir tidak menjadikannya gentar dalam mempertahankan aqidahnya. Keteguhannya di atas kebenaran menghasilkan kepergian suaminya dari sisinya. Namun, kesendiriannya mempertahankan keimanan bersama seorang putranya justru berbuah kesabaran sehingga keduanya menjadi bahan pembicaraan orang yang takjub dan bangga dengan ketabahannya.
Dan, apakah kalian tahu wahai saudariku???
Kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim telah menyemikan perasaan cinta di hati Abu Thalhah yang saat itu masih kafir. Abu Thalhah memberanikan diri untuk melamar beliau dengan tawaran mahar yang tinggi. Namun, Ummu Sulaim menyatakan ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia yang ditawarkan kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau berkata,
“Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60).
Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang perlu kalian tahu wahai saudariku, berdasarkan hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Tsabit bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita untuk bermahal-mahal dalam mahar, diantaranya dalam sabda beliau adalah:
“Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.”(HR. Ahmad) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” (HR. Abu Dawud)
Demikianlah saudariku muslimah…
Semoga kisah ini menjadi sesuatu yang berarti dalam kehidupan kita dan menjadi jalan untuk meluruskan pandangan kita yang mungkin keliru dalam memaknai mahar. Selain itu, semoga kisah ini menjadi salah satu motivator kita untuk lebih konsisten dengan keislaman kita.Wallahu Waliyyuttaufiq.
Maraji:
  1. Panduan Lengkap Nikah dari “A” sampai “Z” (Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq),
  2. Wanita-wanita Teladan Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi)

Jeritan seorang Perawan Tua

Fenomena bertambahnya jumlah wanita yang terlambat menikah (perawan tua) menjadi satu perkara yang menakutkan saat ini, mengancam kebanyakan pemudi-pemudi di masyarakat kita yang Islami, bahkan di seluruh dunia. Berikut ini marilah kita mendengarkan salah satu jeritan mereka :
Majalah Al-Usrah edisi 80 Dzulqa’dah 1420 H menuliskan jeritan seorang perawan tua dari Madinah Munawaroh,”Semula saya sangat bimbang sebelum menulis untuk kalian karena ketakutan terhadap kaum wanita karena saya tahu bahwasanya mereka akan mengatakan bahwa aku ini sudah gila, atau kesurupan. Akan tetapi, realita yang aku alami dan dialami pula oleh sejumlah besar perawan-perawan tua, yang tidak seorang pun mengetahuinya, membuatku memberanikan diri. Saya akan menuliskan kisahku ini dengan ringkas.
Ketika umurku mulai mendekati 20 tahun, saya seperti gadis lainnya memimpikan seorang pemuda yang multazim dan berakhlak mulia. Dahulu saya membangun pemikiran serta harapan-harapan; bagaimana kami hidup nanti dan bagaimana kami mendidik anak-anak kami… dan.. dan…
Saya adalah salah seorang yang sangat memerangi ta’adud (poligami). Hanya semata mendengar orang berkata kepadaku, “Fulan menikah lagi yang kedua”, tanpa sadar saya mendoakan agar ia celaka. Saya berkata, “Kalau saya adalah istrinya -yang pertama- pastilah saya akan mencampakkannya, sebagaimana ia telah mencampakkanku’. Saya sering berdiskusi dengan saudaraku dan terkadang dengan pamanku mengenai masalah ta’addud. Mereka berusaha agar saya mau menerima ta’addud, sementara saya tetap keras kepala tidak mau menerima syari’at ta’addud. Saya katakan kepada mereka, ‘Mustahil wanita lain akan bersama denganku mendampingi suamiku”. Terkadang saya menjadi penyebab munculnya problema-problema antara suami-istri karena ia ingin memadu istri pertamanya; saya menghasutnya sehingga ia melawan kepada suaminya.
Begitulah, hari terus berlalu sedangkan aku masih menanti pemuda impianku. Saya menanti… akan tetapi ia belum juga datang dan saya masih terus menanti. Hampir 30 tahun umurku dalam penantian. Telah lewat 30 tahun… oh Illahi, apa yang harus kuperbuat? Apakah saya harus keluar untuk mencari pengantin laki-laki? Saya tidak sanggup, orang-orang akan berkata wanita ini tidak punya malu. Jadi, apa yang akan saya kerjakan? Tidak ada yang bisa saya perbuat, selain dari menunggu.
Pada suatu hari ketika saya sedang duduk-duduk, saya mendengar salah seorang dari wanita berkata, ‘Fulanah jadi perawan tua”. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Kasihan Fulanah jadi perawan tua”, akan tetapi… fulanah yang dimaksud itu ternyata aku. Ya Illahi! Sesungguhnya itu adalah namaku… saya telah menjadi perawan tua. Bagaimanapun saya melukiskannya kepada kalian, kalian tidak akan bisa merasakannya. Saya dihadapkan pada sebuah kenyataan sebagai perawan tua. Saya mulai mengulang kembali perhitungan-perhitunganku, apa yang saya kerjakan?
Waktu terus berlalu, hari silih berganti, dan saya ingin menjerit. Saya ingin seorang suami, seorang laki-laki tempat saya bernaung di bawah naungannya, membantuku menyelesaikan problema-problemaku… Saudaraku yang laki-laki memang tidak melalaikanku sedikit pun, tetapi dia bukan seperti seorang suami. Saya ingin hidup; ingin melahirkan, dan menikmati kehidupan. Akan tetapi, saya tidak sanggup mengucapkan perkataan ini kepada kaum laki-laki. Mereka akan mengatakan, “Wanita ini tidak malu”. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain daripada diam. Saya tertawa… akan tetapi bukan dari hatiku. Apakah kalian ingin saya tertawa, sedangkan tanganku menggenggam bara api? Saya tidak sanggup…
Suatu hari, saudaraku yang paling besar mendatangiku dan berkata, “Hari ini telah datang calon pengantin, tapi saya menolaknya…” Tanpa terasa saya berkata, “Kenapa kamu lakukan? Itu tidak boleh!” Ia berkata kepadaku, “Dikarenakan ia menginginkanmu sebagai istri kedua, dan saya tahu kalau kamu sangat memerangi ta’addud (poligami)”. Hampir saja saya berteriak di hadapannya, “Kenapa kamu tidak menyetujuinya?” Saya rela menjadi istri kedua, atau ketiga, atau keempat… Kedua tanganku di dalam api. Saya setuju, ya saya yang dulu memerangi ta’addud, sekarang menerimanya. Saudaraku berkata, “Sudah terlambat”
Sekarang saya mengetahui hikmah dalam ta’addud. Satu hikmah ini telah membuatku menerima, bagaimana dengan hikmah-hikmah yang lain? Ya ALlah, ampunilah dosaku. Sesungguhnya saya dahulu tidak mengetahui. Kata-kata ini saya tujukan untuk kaum laki-laki, “Berta’addud-lah, nikahilah satu, dua, tiga, atau empat dengan syarat mampu dan adil. Saya ingatkan kalian dengan firman-Nya, “… Maka nikahilah olehmu apa yang baik bagimu dari wanita, dua, atau tiga, atau empat, maka jika kalian takut tidak mampu berlaku adil, maka satu…” Selamatkanlah kami. Kami adalah manusia seperti kalian, merasakan juga kepedihan. Tutupilah kami, kasihanilah kami.”
Dan kata-kata berikut saya tujukan kepada saudariku muslimah yang telah bersuami, “Syukurilah nikmat ini karena kamu tidak merasakan panasnya api menjadi perawan tua. Saya harap kamu tidak marah apabila suamimu ingin menikah lagi dengan wanita lain. Janganlah kamu mencegahnya, akan tetapi doronglah ia. Saya tahu bahwa ini sangat berat atasmu. Akan tetapi, harapkanlah pahala di sisi ALlah. Lihatlah keadaan suadarimu yang menjadi perawan tua, wanita yang dicerai, dan janda yang ditinggal mati; siapa yang akan mengayomi mereka? Anggaplah ia saudarimu, kamu pasti akan mendapatkan pahala yang sangat besar dengan kesabaranmu
Engkau mungkin mengatakan kepadaku, “Akan datang seorang bujangan yang akan menikahinya”. Saya katakan kepadamu, “Lihatlah sensus penduduk. Sesungguhnya jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Jika setiap laki-laki menikah dengan satu wanita, niscaya banyak dari wanita-wanita kita yang menjadi perawan tua. Jangan hanya memikirkan diri sendiri saja. Akan tetapi, pikirkan juga saudarimu. Anggaplah dirimu berada dalam posisinya”.
Engkau mungkin juga mengatakan, “Semua itu tidak penting bagiku, yang penting suamiku tidak menikah lagi.” Saya katakan kepadamu, “Tangan yang berada di air tidak seperti tangan yang berada di bara api. Ini mungkin terjadi. Jika suamimu menikah lagi dengan wanita lain, ketahuilah bahwasanya dunia ini adalah fana, akhiratlah yang kekal. Janganlah kamu egois, dan janganlah kamu halangi saudarimu dari nikmat ini. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri”. (1)
Demi ALlah, kalau kamu merasakan api menjadi perawan tua, kemudian kamu menikah, kamu pasti akan berkata kepada suamimu “Menikahlah dengan saudariku dan jagalah ia”. Ya ALlah, sesungguhnya kami memohon kepadamu kemuliaan, kesucian, dan suami yang shalih”
A.A.N -Madinah
1. HR. Bukhari dalam kitan Iman no 13 dan Muslim no 45.
Disalin oleh Jilbab Online dari buku “Istriku Menikahkanku”, As-Sayid bin Abdul Aziz As-Sa’dani, Darul Falah, cet. Agustus 2004

LIMA BELAS CARA MEMBUAT SUAMI TETAP HANGAT

Apa yang terjadi jika tidak ada lagi kehangatan antara suami istri? Keduanya mendapati hubungan mereka seakan diselimuti es, dan cinta yang bersemi diawal pernikahan berubah menjadi sesuatu yang dingin. Ungkapan “Rumahku adalah surgaku” menguap entah kemana, dan suasana rumah menjadi rutinitas yang menjemukan dan membosankan.

Oleh karenanya jika anda berpikir bahwa pernikahan anda akan berjalan mulus, selalu diliputi kebahagiaan, tidak akan ada perselisihan, tidak akan ada kekesalan dan kemarahan. Maka sesungguhnya anda telah menjadi korban dari angan-angan yang tidak realistis. Dinamika dan romantika adalah sebuah ketetapan Allah SWTatau sunnatullah dalam pernikahan, tidak seorang pun dapat mengubahnya. Karena itu terimalah dinamika dan romantika (termasuk perselisihan) itu menjadi bagian dari rumah tangga anda, yang akan membuat rumah tangga anda menjadi penuh warna. Dari sini kita dapat mengerti bahwa rumah tangga yang bahagia dan harmonis itu bukanlah tanpa ada romantika perselisihan, tetapi yang dapat menyikapi dan menjadikan perselisihan yang ada sebagai bunga-bunga yang memberi warna pada pernikahan.

Selanjutnya untuk mengusahakan pernikahan yang harmonis dan bahagia itu, bisakah wanita membuat suaminya tetap hangat terhadap dirinya kendati pernikahan itu telah berjalan puluhan atau belasan tahun? Tentu bisa, dengan sedikit usaha dan kesabaran, istri bisa membuat suaminya tetap hangat dan romantis terhadapnya sebagaimana di tahun pertama pernikahan. Tidak percaya?

Cobalah 15 saran berikut ini !
1. Katakan : “Aku mencintaimu”. Siapa bilang laki-laki tidak membutuhkan kata-kata cinta dari istrinya? Katakanlah terus menerus, karena kata-kata itu akan meresap ke dalam jiwanya, menghujam sanubari dan menumbuhkan keyakinan pada dirinya bahwa anda memang sungguh-sungguh mencintainya.

2. Ciumlah suami anda dengan ciuman cinta kasih setiap hari, ini akan menyenangkan dan akan membuatnya merindukan anda.

3. Genggam tanganya dengan lembut disaat-saat tertentu, hal kecil ini mampu menumbuhkan rasa cintanya pada anda.

4. Dengarkanlah dengan mengarahkan seluruh tubuh anda kepadanya ketika ia sedang berbicara. Pandanglah ia dengan lembut dan penuh kasih, untuk menunjukan bahwa anda sunguh-sungguh mendengarkannya.

5. Buatlah kejutan dengan memberikannya hadiah kecil yang bersifat pribadi, misalnya sapu tangan dan kaos kaki.

6. Ekspresikan cinta anda dengan kata-kata dan tubuh anda.

7. Khususkan waktu setiap hari walau hanya sepuluh menit untuk berdua saja dengannya.

8. Tampakanlah semampu anda keindahan penampilan anda ketika suami pulang kerja. Jadikanlah diri anda sebagai sesuatu yang layak dipandang, diperhatikan, dipeluk setelah sepuluh jam ia berada di luar.

9. Buatlah kejutan lembut disaat yang tidak terduga. Karena banyak istri melupakan bahwa pelukan dan ciuman lembut yang tiba-tiba (bukan rutinitas ketika akan berangkat bekerja) dapat menimbulkan perasaan khusus dan kasih sayang suami.

10. Berusahalah memenuhi rumah anda dengan senyum manis yang menyejukan seisi rumah. Silakan anda kesal atau marah, tapi jangan biarkan kemarahan dan kekesalan anda berlarut-larut, sehingga membuat suami anda merasa tidak nyaman berada di rumahnya sendiri.

11. Pahami dan kenali sifat serta karakter suami anda. Berusahalah mencari hal-hal yang membuatnya senang dan bahagia, sebaiknya jangan melakukan hal-hal yang membuat suami anda kesal.

12. Berikan pujian, jika memang suami anda berhak untuk mendapat pujian. Misalnya, “mas ganteng sekali hari ini,” atau ketika ia membantu anda membereskan rumah, “Aduh, suamiku memang lelaki yang paling rajin dan sholeh.”

13. Jangan ragu dan malu untuk menyatakan ketergantungan anda padanya, misalnya, “Alhamdulillah, aku punya suami seperti mas, jadi semua masalah bisa diatasi”.

14. Berusahalah untuk memaafkan jika ia berbuat kesalahan, ungkapkan kekesalan anda dengan wajar, selnjutnya tunjukan cinta dan pengertian anda.

15. Jangan sekali-kali anda lupa untuk mengucapkan terimakasih atas hal-hal kecil yang telah dilakukannya. Ingatlah Rasul kita yang mulia pernah bersabda, “Allah tidak akan memandang kepada perempuan yang tidak berterimakasih pada suaminya padahal ia butuh kepadanya” (HR Hakim) (www.baitijannati.wordpress.com)

Wassalam.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Safina no. 6 Tahun 1, Agustus 2003
Ditulis oleh Farid Ma'ruf

26 Juli 2011

BERSAMAMU DALAM ILMU


Membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis memang menjadi dambaan. Namun tentu saja untuk mencapainya bukan persoalan mudah. Butuh kesiapan dalam banyak hal terutama dari sisi ilmu agama. Sesuatu yang mesti dipunyai seorang istri, terlebih sang suami.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa menikah berarti menjalani hidup baru. Karena dalam kehidupan pasca pernikahan memang dijumpai banyak hal yang sebelumnya tidak didapatkan saat melajang. Tentunya semua itu bisa dirasakan oleh mereka yang telah membangun mahligai rumah tangga.

Pernikahan juga merupakan kehidupan orang dewasa. Sebab, banyak hal yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan pikiran orang yang dewasa, bukan dengan pikiran kanak-kanak. Masalah hubungan suami istri, pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan kemasyarakatan, dan lain sebagainya, mau tidak mau akan hadir dalam kehidupan mereka yang telah berkeluarga.

Maka, tidak salah pula bila dikatakan untuk menikah itu butuh ilmu syar‘i, baik pihak istri, terlebih lagi pihak suami sebagai qawwam (pemimpin) bagi keluarganya. Karena dengan ilmu yang disertai amalan, akan tegak segala urusan dan akan lurus jalan kehidupan. Namun sangat disayangkan, sisi yang satu ini sering luput dari persiapan dan sering terabaikan, baik sebelum pernikahan terlebih lagi pasca pernikahan.

Pendidikan Keluarga

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Kaum laki-laki (suami) adalah qawwam (pemimpin) bagi kaum wanita (istri).? (An-Nisaa’: 34)
Salah satu tugas suami sebagai qawwam adalah memberikan pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya, meluruskan mereka dari penyimpangan, dan mengenalkan mereka kepada kebenaran. 
Karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.? (At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam butiran ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. 


Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat segera dinasehati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 28/166, Ruhul Ma‘ani, 28/156)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: “Menjaga jiwa dari api neraka bisa dilakukan dengan mengharuskan jiwa tersebut untuk berpegang dengan perintah Allah, melaksanakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan bertaubat dari perkara yang mendatangkan murka dan adzab-Nya. Di samping itu, menjaga istri dan anak-anak dilakukan dengan cara mendidik dan mengajari mereka, serta memaksa mereka untuk taat kepada perintah Allah.
Seorang hamba tidak akan selamat kecuali bila ia menegakkan perkara Allah pada dirinya dan pada orang-orang yang berada di bawah perwaliannya seperti istri, anak-anak, dan selain mereka.? (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874)

Ayat ini menunjukkan wajibnya suami mengajari anak-anak dan istri tentang perkara agama dan kebaikan serta adab yang dibutuhkan. Hal ini semisal dengan firman Allah Azza wa Jalla � kepada Nabi-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam menegakkannya.? (Thaha: 132)

“Berilah peringatan kepada karib kerabatmu yang terdekat.? (Asy-Syu`ara: 214)
Ini menunjukkan keluarga yang paling dekat dengan kita memiliki kelebihan dibanding yang lain dalam hal memperoleh pengajaran dan pengarahan untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla. (Ahkamul Qur’an, 3/697)

Malik Ibnul Huwairits radiyallahu ‘anhu mengabarkan: “Kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Lalu kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 628 dan Muslim no. 674)


Dalam hadits di atas, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada shahabatnya untuk memberikan taklim (pengajaran) kepada keluarga dan menyampaikan kepada mereka ilmu yang didapatkan saat bermajelis dengan seorang ‘alim.

Dengan penjelasan yang telah lewat, dapat dipahami bahwa seorang suami/ kepala rumah tangga harus memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik anak istrinya, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan mereka dari penyimpangan.

Namun sangat disayangkan, kenyataan yang kita lihat banyak kepala keluarga yang melalaikan hal ini. Yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana mencukupi kebutuhan materi keluarganya sehingga mereka tenggelam dalam perlombaan mengejar dunia, sementara kebutuhan spiritual tidak masuk dalam hitungan. Anak dan istri mereka hanya dijejali dengan harta dunia, bersenang-senang dengannya, namun bersamaan dengan itu mereka tidak mengerti tentang agama.

Paling tidak, bila seorang suami tidak bisa mengajari keluarganya, mungkin karena kesibukannya atau keterbatasan ilmunya, ia mencarikan pengajar agama untuk anak istrinya, atau mengajak istrinya ke majelis taklim, menyediakan buku-buku agama, kaset-kaset ceramah/ taklim sesuai dengan kemampuannya, dan menganjurkan keluarganya untuk membaca/ mendengarnya.

Mendidik Istri

Memasuki masa-masa awal pernikahan, semestinya seorang suami telah merencanakan pendidikan agama bagi istrinya. Minimalnya ia mempunyai pandangan ke arah sana. Dan sebelum menjadi seorang ayah, semestinya ia telah menyiapkan istrinya untuk menjadi pendidik anak-anaknya kelak karena:
“Ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya?, kata penyair Arab.


Perlu juga diperhatikan, bahwa mendapatkan pengajaran agama termasuk salah satu hak istri yang seharusnya ditunaikan oleh suami dan termasuk hak seorang wanita yang harus ditunaikan walinya. Namun pada prakteknya, hak ini seringkali tidak terpenuhi sebagaimana mestinya. 
Sehingga tepat sekali ucapan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullah yang membagi manusia menjadi tiga macam dalam mengurusi wanita:
Pertama: 
Mereka yang melepaskan wanita begitu saja sekehendaknya, membiarkannya bepergian jauh tanpa mahram, bercampur baur di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di tempat kerja seperti kantor dan di rumah sakit. Sehingga mengakibatkan rusaknya keadaan kaum muslimin.
Kedua: 
Mereka yang menyia-nyiakan wanita tanpa taklim (pengajaran), membiarkannya seperti binatang ternak, sehingga ia tidak tahu sedikit pun kewajiban yang Allah bebankan padanya. Wanita seperti ini akan menjatuhkan dirinya kepada fitnah dan penyelisihan terhadap perintah-perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala, bahkan akan merusak keluarganya.
Ketiga:
Mereka yang memberikan pengajaran agama kepada wanita sesuai dengan kandungan Al Qur’an dan As Sunnah, karena melaksanakan perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala :
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.? (At- Tahrim: 6)


Dan karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya/ dimintai tanggung jawab tentang apa yang dipimpinnya.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829)
(Nashihati lin Nisa’, Ummu ‘Abdillah Al-Wadi`iyyah, hal. 7- _

Seorang istri perlu diajari tentang perkara yang dibutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari, siang dan malamnya, tentang tauhid, bahaya syirik, maksiat dan penyakit-penyakit hati berikut pengobatannya. 
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri menyediakan waktu khusus untuk mengajari para wanita. 
Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu berkata: “Datang seorang wanita kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata:
“’Wahai Rasulullah! Kaum laki-laki telah pergi membawa haditsmu, maka berikanlah untuk kami satu hari yang khusus di mana kami dapat mendatangimu untuk belajar kepadamu dari ilmu yang Allah telah ajarkan padamu.’ Beliau pun bersabda: ‘Berkumpullah kalian pada hari ini dan itu di tempat ini (yakni beliau menyebutkan waktu dan tempat tertentu)’. Hingga mereka pun berkumpul pada hari dan tempat yang dijanjikan untuk mengambil ilmu dari beliau sesuai dengan apa yang diajarkan Allah kepada beliau.? (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 101 dan Muslim no. 2633)

Bahkan istri-istri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam “lahir? dari madrasah nubuwwah dan mereka menuai bekal ilmu yang banyak terutama Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu ‘anha yang besar dalam asuhan madrasah yang mulia ini. Sepeninggal suami mereka, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, mereka menjadi pendidik umat bersama dengan para shahabat yang lain, semoga Allah meridhai mereka.

Gambaran Pengajaran Seorang ‘Alim terhadap Keluarga Mereka
Para pendahulu kita yang shalih (salafunash shalih) sangat mementingkan pendidikan agama bagi keluarga mereka. Di samping mereka berdakwah kepada umat di luar rumah, mereka juga tidak melupakan orang-orang yang berada dalam rumah mereka (keluarga). Tidak seperti kebanyakan manusia pada hari ini yang sibuk dengan urusan mereka di luar rumah sehingga melalaikan pendidikan istrinya.

Bahkan sangat disayangkan hal ini juga menimpa keluarga da‘i. Ia sibuk berdakwah kepada masyarakatnya sementara istrinya di rumah tidak mengerti tata cara shalat yang diajarkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, tidak tahu cara menghilangkan najis, dan sebagainya. Yang lebih parah, istri atau anaknya tidak mengerti tentang tauhid dan syirik. 

Lihatlah keluarga Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah. Beliau demikian bersemangat menyebarkan ilmu di tengah keluarganya dan kerabatnya sebagaimana semangatnya menyampaikan ilmu kepada orang lain. Kesibukan beliau dalam dakwah di luar rumah dan dalam menulis ilmu tidaklah melalaikan beliau untuk memberi taklim kepada keluarganya. 
Dari hasil pendidikan ini lahirlah dari keluarga beliau orang-orang yang terkenal dalam ilmu khususnya ilmu hadits, seperti: saudara perempuannya Sittir Rakb bintu ‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar Al-’Asqalani, istrinya Uns bintu Al-Qadhi Karimuddin Abdul Karim bin ‘Abdil ‘Aziz, putrinya Zain Khatun, Farhah, Fathimah, ‘Aliyah, dan Rabi`ah. (Inayatun Nisa bil Haditsin Nabawi, hal. 126-127)

Lihat pula bagaimana Sa’id Ibnul Musayyab rahimahullah membesarkan dan mengasuh putrinya dalam buaian ilmu hingga ketika menikah suaminya mengatakan ia mendapati istrinya adalah orang yang paling hapal dengan kitabullah, paling mengilmuinya, dan paling tahu tentang hak suami. (Al-Hilyah, 2/167-168, As-Siyar, 4/233-234)

Demikian pula kisah keilmuan putri Al-Imam Malik rahimahullah. Dengan bimbingan ayahnya, ia dapat menghapal Al-Muwaththa’ karya sang Imam. Bila ada murid Al-Imam Malik membacakan Al-Muwaththa’ di hadapan beliau, putrinya berdiri di belakang pintu mendengarkan bacaan tersebut. Hingga ketika ada kekeliruan dalam bacaan ia memberi isyarat kepada ayahnya dengan mengetuk pintu. Maka ayahnya (Al-Imam Malik) pun berkata kepada si pembaca: “Ulangi bacaanmu karena ada kekeliruan?. (Inayatun Nisa’, hal. 121)







http://www.facebook.com/groups/144648495598755